Kemenag RI 2019:(Ingatlah) ketika Kami berfirman, “Masuklah ke negeri ini (Baitulmaqdis). Lalu, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. Masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk dan katakanlah, ‘Bebaskanlah kami (dari dosa-dosa kami),’ niscaya Kami mengampuni kesalahan-kesalahanmu. Kami akan menambah (karunia) kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” Prof. Quraish Shihab:Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis atau Yerusalem Lama), dan makanlah dari (hasil bumi)-nya yang banyak lagi enak di mana (dan kapan) saja yang kamu kehendaki, dan masukilah pintu gerbang sambil bersujud, dan katakanlah: `hiththahr¹ (pasti) Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu. Dan (kelak) Kami akan menambah (anugerah bagi) orang-orang muhsin (orang-orang yang selalu berbuat yang lebih baik)” Prof. HAMKA:Dan (ingatlah) seketika Kami berkata, "Masuklah kamu ke dalam negeri ini, makanlah daripadanya bagaimana yang kamu kehendaki dengan puas, dan masukilah pintu itu dengan merendah diri, dan ucapkanlah kata permohonan ampun, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, dan akan Kami tambah (nikmat) kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ayat ke-58 ini masih merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang pembicaraannya berkisar seputar berbagai kenikmatan yang telah Allah SWT gelontorkan kepada Bani Israil di masa-masa lalu. Tujuannya untuk mengingatkan kepada Bani Israil yang ada di Madinah di masa kenabian Muhammad SAW agar mereka segera menyatakan diri beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan tuntuk serta patuh kepada Al-Quran yang sumbernya datang dari Tuhan yang mereka sembah sejak zaman nenek moyang mereka.
Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya masih terus menerus mengajak Bani Israil di masa kenabian untuk melakukan flash-back ke belakang, menelusuri ulang sejarah nenek moyang dan leluhur mereka yang amat mereka bangga-banggakan itu. Bani Israil di Madinah kala itu memang selalu menyatakan bahwa mereka berdarah biru pilihan Allah SWT yang menjadi bangsa terpilih.
Maka dengan segala kebanggaan mereka terhadap leluhur mereka itulah kemudian Al-Quran memulai ajakan untuk tunduk dan patuh menjalankan perintah-perintah Allah SWT selanjutnya. Pesannya, jangan hanya bisa membanggakan orang tua dan leluhur kalian, tetapi sekarang ini justru kalian yang ditanya dan bertanggung jawab.
وَإِذْ قُلْنَا
Lafazh wa idz (وَإِذْ) sebagaimana sudah dijelaskan pada penjelasan di ayat-ayat sebelumnya, adalah satu dari sekian banyak perintah yang Allah SWT berikan kepada Bani Israil di masa kenabian untuk mengingat-ingat bagaimana dahulu leluhur mereka diberi kenikmatan yang beraneka ragam jenisnya. Terjemahnya menjadi : “Dan ingatlah ketika”.
Lafazh qulna (قُلْنَا) adalah fi’il madhi yang menjelaskan kejadian dalam bentuk lampau dengan dhamir sebagai pelaku adalah ‘Kami’, yaitu Allah SWT. Sehingga lafazh ini bermakna : “Kami berfirman”.
Maksudnya bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada Bani Israil lewat perkataan-Nya. Tentunya perintah Allah SWT tidak diberikan secara langsung kepada Bani Israil seperti turunnya wahyu yang didengar bersama-sama, melainkan Allah SWT menurunkan wahyu lewat Jibril kepada nabi mereka. Lalu nabi mereka pun menyampaikan apa-apa yang telah Allah SWT wahyukan itu kepada Bani Israil.
Sebagian ulama mengatakan bahwa peristiwa diperintahkannya Bani Israil masuk ke tempat itu terjadi setelah selama kurun 40 tahun lamanya mereka hidup terlunta-lunta di gurun Sinai. Dan diriwayatkan bahwa Nabi Musa alahissalam justru wafat dalam periode tersesat 40 tahun itu. Sehingga kalau pun pesan dari Allah SWT diturunkan lewat wahyu melalui seorang nabi, nabinya sudah bukan lagi Nabi Musa, melainkan Nabi Yusya’ bin Nun, nabi berikutnya bagi Bani Israil.
ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَة
Lafazh udkhulu (ادخلوا) merupakan bentuk fi’il amr dari kata dasar (دخل - يدخل) yang maknanya masuk. Maksudnya Allah SWT memerintahkan kepada Bani Israil yang telah bertahun-tahun tersesat di Gurun Sinai untuk segera masuk ke suatu negeri yang disebut dengan hadzihil-qaryah (هذه القرية).
Ada dua pendapat tentang latar belakang kenapa mereka diperintahkan untuk masuk ke negeri itu :
Pertama, karena mereka sudah selesai menjalani masa hukuman dengan dibikin tersesat selama 40 tahun di Gurun Sinai, lalu untuk kesempurnaan pertobatan mereka, diperintahkanlah untuk masuk ke negeri itu.
Kedua, karena mereka sudah bosan selama 40 tahun itu hanya makan makanan yang terbatas dan hanya itu-itu saja, yaitu Manna dan Salwa. Meskipun kedua makanan itu sangat baik, namun rasa ingin menikmati beragam jenis makanan yang lain membuat mereka meminta kepada Allah SWT agar bisa diberikan makanan yang lain. Lalu untuk bisa mendapatkan makanan yang lain, Allah SWT perintahkan untuk masuk ke negeri itu.
Lafazh hadzihi (هذه) merupakan kata tunjuk yang mengisyaratkan bahwa yang ditunjuk itu jaraknya cukup dekat. Apabila yang ditunjuk jaraknya jauh, maka biasanya digunakan kata tunjuk : tilka (تلك). Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir berpendapat bahwa kata tunjuk hadzihi menunjukkan tempat yang dekat saja jaraknya, sehingga dalam pandangannya tempat itu bukan Baitul Maqdis melainkan Hebron.
Lafazh al-qaryah (القرية) kalau dalam bahasa Arab modern biasanya dimaknai sebagai kampung atau desa yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu banyak penduduknya, setidaknya kalau dibandingkan dengan kota. Namun dalam menurut Ibnu Asyur, qaryah itu tidak hanya sebatas kampung atau desa kecil, namun bisa juga untuk menyebut suatu kota besar. Buktinya tempat yang dimaksud pun ada pintu gerbangnya, padahal umumnya desa kecil tidak punya pintu gerbang.
Makanya qaryah bisa juga dimaknai sebagai negeri, sebagaimana yang kita baca dalam terjemahan Kemenag RI, Quraish Shihab dan juga Buya HAMKA di atas.
Secara bahasa, kata dasar qaryah itu maknanya tempat berkumpul. Misalnya ada ungkapan dalam bahasa Arab : (قريت الماء في الحوض) artinya aku mengumpulkan air di mata air.
Para ulama di dalam masing-masing kitab tafsir mereka menyebutkan bermacam-macam penafsiran tentang tempat-tempat yang dimaksud yang berbeda-beda. Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran kemudian merangkum sekian banyak pendapat ini sebagai berikut :[1]
Baitul Maqdis : ini adalah jumhur ulama di antaranya merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Qatadah, Ar-Rabi’ bin Anas dan As-Suddi. Dalam hal ini As-Suddi menunjuk kepada sebuah kampung yang ada di dalam Baitul Maqdis yang disebut dengan Ariha. Dalam ejaan Barat disebut dengan Jerico. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.
Benteng Romawi : Amr bin Syu’bah mengatakan bahwa tempat yang dimaksud dengan sebuah benteng tempat raja-raja Romawi yang berkuasa di masa itu.
Negeri Syam : Ini adalah pendapat Ibnu Kaisan.
Ramalla, Jordan, Palestina dan Tadmur : Ini pendapat Adh-Dhahhak.
Perintah Allah SWT untuk masuk ke negeri tersebut oleh Al-Qurtubi dikatakan sebagai kenikmatan yang amat penting, karena menandakan berakhirnya 'kutukan' mereka yaitu dibikin tersesat di Gurun Sinai selama kurun 40 tahun lamanya.
Di atas sudah sedikit dijelaskan tentang dua pendapat kenapa Allah SWT perintahkan Bani Israil untuk masuk ke negeri itu, dan pendapat kedua mengatakan bahwa motif yang melatar-belakanginya adalah karena mereka bosan hanya mengkonsumsi menu makanan yang itu-itu saja. Mereka inginkan adanya jenis makanan yang bermacam-macam serta variasi menu lain yang di luar dari kebiasaan.
Oleh karena itu begitu perintah masuk diberikan, Allah SWT langsung melanjutkannya dengan perintah untuk : makan lah makanan apa pun yang kalian inginkan (فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا). Seolah-olah masuknya mereka ke negeri itu judulnya hanya ingin wisata kuliner.
Lafazh raghada (رغدا) oleh para mufassir dimaknai sebagai banyak atau leluasa dan apa saja. Lafazh raghadan ini mengingatkan kita pada ayat 35 dari surat Al-Baqarah, yaitu kisah Nabi Adam alaihissalam yang diperintahkan makan apa saja yang ada di surga. Oleh para mufassir dimaknai secara berbeda, demikian juga dalam terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, kita temukan perbedaan terkait makna kata ini : (وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا). Dan terjemahannya berbeda-beda, Kementerian Agama RI menerjemahkannya menjadi : "makanlah dengan nikmat". Buya HAMKA menerjemahkan menjadi : "dengan senang sesuka-sukamu". Qurasih Shihab menerjemahkannya menjadi : "makanlah darinya yang banyak".
وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا
Lafazh udkhulu (ادخلوا) merupakan pengulangan dari perintah untuk masuk yang sudah diperintahkan sebelumnya, sehingga ada dua kali perintah untuk masuk. Lalu apa makna dua kali perintah masuk ini?
Boleh jadi perintahnya sama saja, namun kali ini lebih ditekankan dari cara masuknya yaitu dengan menunduk, sedangkan perintah masuk yang pertama terkait tujuannya yaitu untuk makan.
Lafazh al-baab (الباب) secara bahasa bermakna pintu, namun para ulama menafsirkan dengan beragam tafsiran terkait pintu tersebut. Sebagian ulama seperti Mujahid mengatakan bahwa pintu yang dimaksud adalah pintu yang bernama pintu taubat, yang merupakan pintu kedelapan dari pintu-pintu yang ada. Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan bahwa pintu itu bernama pintu hiththah (حطّة). Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa pintu itu adalah pintu qubbah, yaitu tempat dimana dahulu Nabi Musa dan Nabi Harun beribadah yang selama ini menjadi kiblat mereka, khususnya ketika sedang tersesat di Gurun Sinai.
Lafazh sujjadan (سجدا) yang asalnya dari kata (سجد - يسجد) yang secara bahasa maknanya adalah menempelkan wajah ke tanah dan menciumnya. Namun para ulama berbeda pendapat, apakah perintah masuk ke pintu kota sambil bersujud itu sifatnya hakiki atau majaz.
Mereka yang berpendapat bahwa perintah itu hakiki menerangkan bahwa maksudnya begitu masuk ke pintu kota itu maka bersujudlah dalam arti bentuk ritual ibadah dalam rangka bersyukur kepada Allah SWT. Hal itu karena mereka sudah terbebas dari ketersesatan selama 40 tahun lamanya di Gurun Sinai. Sehingga perintah sujud disini oleh mereka dianggap sebagai perintah untuk beribadah sujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Hasan Al-Bashri[1] dan juga Az-Zamakhsyari.[2]
Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan sujud di ayat ini bukan untuk menempelkan wajah ke tanah, melainkan melakukan ibadah yaitu ruku’ sebagaimana yang kita kenal dalam gerakan shalat.
Namun kebanyakan ulama memaknainya secara majaz, yaitu masuk dengan cara membungkuk atau merendah diri. Ini terkait dengan etika dan tata cara sopan santun yang harus dilakukan bila kita masuk ke negeri orang.
Perintah untuk mengatakan : hiththah (حطّة) dipahami oleh para mufassir dengan berbeda sudut pandang. Sebagian mereka seperti Ibnu Abbas mengatakan bahwa maknanya adalah : “Ampuni kami”. Sedangkan Ikrimah mengatakan bahwa lafazh itu adalah : (لا إله إلا الله). Dan ada sebuah riwayat yang konon berasal juga dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maknanya adalah : “Akuilah dosa-dosamu”.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa pada intinya Allah SWT perintahkan kepada mereka ketika masuk ke negeri itu untuk banyak berdzikir, bersyukur sambil meminta ampun. Kurang lebih seperti yang Allah SWT perintahkan kepada Nabi Muhammad SAW ketika di akhir usia melihat bagaimana bangsa Arab datang ke Madinah berbondong-bondong ingin menyatakan diri masuk Islam.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. An-Nashr : 1-3)
Dan perintah untuk masuk dengan badan menunduk juga dikerjakan oleh Nab Muhammad SAW ketika membebaskan kota Mekkah dan memperoleh kemenangan mutlak. Beliau SAW nampak duduk menunduk di atas untanya sebagai perwujudan rasa syukur dan tunduk kepada Allah SWT. Bukan dengan berjalan membusungkan dada seraya melangkah dengan congkak lagi merasa sebagai penjajah.
Dan Nabi SAW diriwayatkan ketika memenangkan peperangan dan memasuki suatu negeri, Beliau SAW melaksanakan shalat sunnah sebanyak delapan rakaat dengan dua-dua rakaat. Sebagian kalangan mengatkaan itu adalah shalat Dhuha, namun yang lain mengatkan bahwa shalat itu adalah shalat menangan.
Maka dalam syariat Islam menjadi mustahab apabila seorang penguasa baru saja berhasil membebaskan suatu negeri, untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahuanhu ketika berhasil menaklukkan istana putih milik Kerajaan Persia Raya di tahun ke-17 hijriyah di masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu.
نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ
Lafazh naghfir-lakum (نغفر لكم) bermakna : “Kami mengampuni kamu”. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT segera berhenti menghukum Bani Israil, dari yang sebelumnya terus menerus menimpakan bencana, adzan dan siksaan kepada mereka tanpa henti lantaran begitu banyak kesalahan yang telah mereka lakukan selama ini.
Lafazh khathaya (خطايا) merupakan bentuk jamak dari khathiah (خطيعة). Dalam hal ini memang Bani Israil telah begitu banyak melakukan kesalahan demi kesalahan. Seharusnya kepada mereka diturunkan adzab atas semua kesalahan yang telah mereka lakkan, karena memang begitulah sunnatullah yang berlaku bagi umat terdahulu, yaitu setiap kesalahan langsung dibalas dengan hukuman di dunia ini.
Maka ketika Allah SWT mengatakan : “Kami akan ampuni kalian dari kesalahan-kesalahan kalian”, ini jelas merupakan pencapaian yang sudah jauh melewati kebiasaannya. Kalau tidak ada pernyataan itu, maka boleh jadi Bani Israil akan terus menerus ditimpakan bencana dan malapetaka tiada henti-hentinya.
وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ
Lafazh muhsinin (محسنين) adalah bentuk jamak dari kata mushin (محسن), asal katanya dari ihsan (إحسان). Menurut al-Harrali kata ini mengandung arti puncak kebaikan dari suatu amal perbuatan. Quraish Shihab mengatakan muhsin itu bukan sekedar orang melakukan perbuatan baik, tetapi lebih dari itu, dia selalu berbua baik dalam setiap waktunya.
Banyak juga kalangan yang menyebut bahwa muhsin itu sebutan untuk orang yang banyak memberi kepada orang lain, entah itu berupa harta atau bentuk-bentuk pertolongan yang lain. Sehingga padanan kata yang tepat adalah : dermawan.
Maka dari petikan akhir ayat ini banyak kalangan yang menjadikannya sebagai dalil bahwa orang yang banyak berderma alias muhsin, rejekinya tidak akan pernah berhenti mengalir, karena selalu Allah SWT tambahkan. Dan istilah tambahan disini berarti lebih banyak jumlahnya dari pada sekedar digantikan.
Maksudnya harta yang didermakan di jalan Allah SWT itu tidak berkurang, karena pastinya akan diganti oleh Allah SWT. Bahkan malah penggantiannya melebihi apa yang sudah dikeluarkannya, sehingga diksi yang digunakan adalah ‘menambahkan’, bukan sekedar mengganti.