Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang berilmu. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Prof. Quraish Shihab :
Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyaksikan yang demikian). Dia Yang menegakkan keadilan (yang memuaskan semua pihak). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana
Prof. HAMKA :
Allah telah menjelaskan bahwa tiada Tuhan selain Dia. Demikianpun Malaikat dan orang-orang berilmu; bahwa Dia berdiri dengan keadilan. Tidaklah ada Tuhan selain Dia. Mahagagah lagi Bijaksana.
Lafazh syahidallah (شَهِدَ اللَّه) artinya Allah SWT bersaksi atau bersyahadat. Lafazh syahida (شَهِدَ) sendiri secara bahasa punya banyak makna, antara lain bersaksi, melihat, mengetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata kepala maupun dengan mata hati.
Seorang saksi adalah yang menyampaikan kesaksian di pengadilan atas dasar pengetahuan yang diperolehnya, kesaksian mata atau hati.
Secara makna istilah, barangkali yang lebih tepatnya diartikan menjadi istilah yang sudah baku yaitu bersyahadat. Bersyahadat itu adalah tanda masuk Islamnya seseorang, dari agama sebelumnya yang bukan Islam. Bahkan meski mereka adalah pengikut ajaran samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul di masa lalu, ketika mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, maka mereka harus bersyahadat.
Maka bersyahadat itu seremoni atau pengakuan untuk membenarkan risalah samawi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi dan rasul terakhir.
وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ
Lafazh wal-malaikatu (وَالْمَلَائِكَةُ) artinya adalah : dan para malaikat. Sedangkan ulul-ilmi (أُولُو الْعِلْمِ) artinya adalah orang-orang yang berilmu. Baik para malaikat ataupun juga orang-orang yang berilmu juga bersyahadat, meskipun diawali oleh Allah SWT yang bersyahadat.
Yang menarik dalam penggalan ayat ini bahwa yang bersyahadat justru Allah SWT sendiri dan bukan umat Islam. Dan ini mirip dengan perintah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dimana perintahnya datang didahului dengan pernyataan bahwa Allah SWT dan para malaikat pun bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab : 56)
Lantas apa kira-kira maksudnya?
Boleh jadi untuk menegaskan betapa pentingnya bershalawat dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Saking pentingnya, bahkan Allah SWT dan para malaikat-Nya bershalawat dan bersyahadat juga.
Kalau kita kait-kaitkan masalah mengucapkan dua kalimat syahadat ini dengan kejadian di masa kenabian tatkala ayat ini turun, boleh jadi ayat ini terkait dengan prosesi masuk Islamnya beberapa suku Arab dan juga umat nasrani. Dalam catatan sirah nabawiyah, di akhir masa kenabian, disebutkan datang begitu banyak rombongan delegasi suku Tsaqif untuk masuk Islam.
Saking banyaknya jumlah mereka, sampai masjid Nabawi tempat mereka ditampung jadi penuh sesak. Yang menarik ternyata sebelum menyatakan masuk Islam, mereka menjalani semacam proses induksi tentang prinsip-prinsip agama Islam, selama beberapa hari. Puncaknya adalah ketika mereka menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pembacaan dua kalimat syahadat ini sejatinya adalah prosesi masuk Islamnya seseorang, sedangkan yang sudah muslim sebenarnya sudah setiap hari baca dua kalimat syahadat. Bukankah di dalam shalat kita semua mengucapkan dua kalimat syahadat, setidaknya dua kali, yaitu pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir. Sehari lima kali kita shalat, masing-masing ada dua syahadat, kecuali shalat shubuh. Sehingga sudah pasti kita bersyahadat 9 kali.
Namun demikian, di luar shalat pun kita tetap dianjurkan membacakan syahadat, termasuk salah satunya ketika kita berkhutbah. Disebutkan bahwa dalam khutbahnya, Nabi SAW juga membacakan dua kalimat syahadat.
Ada sebuah riwayat menyebutkan bahwa orang-orang dari Bani Tsaqif ketika belajar tentang Islam sempat bertanya,”Mengapa Nabi SAW memerintahkan kami bersyahadat dan mengakui kebenaran risalah-Nya, tetapi dia sendiri tidak bersyahadat, yakni bersaksi atas dirinya?" Maka sejak itu Nabi SAW selalu mengucapkan dua kalimat syahadat dalam khutbahnya.
قَائِمًا بِالْقِسْطِ
Makna qaiman (قَائِمًا) artinya : tegak atau menegakkan, sedangkan lafazh bil-qisthi (بِالْقِسْطِ) banyak diterjemahkan dengan keadilan. Sehingga maknanya bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan yang menegakkan keadilan.
Di dalam tafsir Al-Misbah Prof. Quraish Shihab menegaskan meski bisa diterjemahkan dengan makna keadilan, namun menurutnya al-qisth itu punya makna yang lebih jauh lagi dari sekedar berlaku adil.
Beliau mengutip dari Al-Imam Al-Ghazali dalam bukunya, Asma' al-Husna, bahwa sifat Allah Al-Muqsith (المُقْسِط) itu adalah Tuhan yang memenangkan atau membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan kedua belah pihak sama-sama rela, puas dan senang dengan keputusan yang diperoleh. Maka makna al-qisth bukan sekadar adil tetapi keadilan yang menjadikan kedua belah pihak saling rela dan puas.
Kalau kita bandingkan dengan istilah keadilan yang biasa, boleh jadi memang apa yang jadi keputusan itu memang adil, tetapi adil saja belum tentu memuaskan semua pihak. Bahkan terkadang keadilan itu malah menyakitkan. Orang bilang keadilan itu terkadang buta, tidak bisa memberikan rasa puas kepada para pihak yang bersengketa.
Berapa banyak kasus yang diputuskan lewat pengadilan, namun tetap masih menjadi ganjalan kepada salah satu pihak. Seakan meski sudah lewat pengadilan, tetapi rasa keadilan belum terpuaskan. Dan biasanya kita hanya bisa pasrah saja.
Contohnya adalah ketika Ali bin Abi Thalib diriwayatkan pernah dikalahkan tuntutannya oleh pengadilan, karena apa yang dituntutnya dari lawannya belum cukup bukti. Sehingga pengadilan terpaksa menolak tuntutannya. Kasusnya Ali bin Abi Thalib menuduh seorang Yahudi telah mencuri baju besi miliknya. Namun di Yahudi menolak tuduhan itu, sehingga keduanya sepakat diselesaikan masalah mereka di depan hakim.
Yang jadi masalah, meskipun posisi Ali bin Abi Thalib adalah seorang Amirul Mukminin yang mengangkat sang hakim, namun secara hukum posisi Ali sangat lemah. Sebab Beliau tidak bisa mendatangkan bukti yang cukup atas tuntutan yang diajukannya. Tidak ada bukti dan juga saksi yang bisa membenarkan tuntutannya di pengadilan. Sehingga baju besi itu tidak bisa didapatnya dari si Yahudi. Pengadilan telah memutuskan dengan adil, Yahudi dibela dan Ali dikalahkan. Begitulah keadilan manusia, tidak bisa sempurna dan boleh jadi Ali merasa tidak puas atas keputusan pengadilan. Tetapi apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada.
Disinilah kita menegaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang bukan hanya adil secara hukum, tetapi sifatnya adalah Al-Muqsith, yaitu ketika memutuskan masalah, semua pihak merasa terpuaskan.
Ternyata setelah dimenangkan oleh pengadilan, si Yahudi yang sebenarnya mencuri baju besi milik Ali itu jadi tersadar. Memang dia menang di pengadilan, tetapi rasa bersalahnya itu membuat dia membuat pernyataan, bahwa sebenarnya dia yang mencuri baju besi itu. Akhirnya dia kembalikan baju besi itu kepada Ali sambil dia bertaubat lalu menyatakan diri masuk Islam.
Yang menggerakkan hati yahudi itu tersadar dan mengembalikan itu adalah Allah. Disitulah kita menyaksikan bahwa Allah SWT menegakkan al-qisth yang memuskan semua pihak dan bukan sekedar menegakkan keadilan yang bersifat formalitas.
Kalau kita buatkan contoh bagaimana jalinan antara keadilan dan al-qisth dalam kasus waris, bisa kita buat sebuah ilustrasi sebagai berikut. Katakanlah ada orang tua yang punya dua anak, satu laki dan satu wanita. Sebenarnya dia tidak ingin membeda-bedakan masalah harta, di dalam hati dia ingin apa yang diterima anak wanita itu nilainya sama dengan yang diterima anak laki.
Namun kalau pakai hukum waris tentu tidak bisa dan mentok dengan aturan baku bahwa anak laki-laki itu bagiannya sama dengan bagian dua anak perempuan.
Untuk itu biar apa yang diinginkan itu bisa berjalan dan tidak melanggar ketentuan syariat, jauh sebelum orang tua wafat, dia boleh menghibahkan sebagian hartanya kepada anak perempuan. Sehingga ketika dia wafat dan anak perempuannya hanya mendapat ½ bagian dari anak laki-laki, jatuhnya tetap seimbang. Kalau sudah diberi terlebih dahulu sebagian harta.
Disini kita katakan bahwa bagi waris 2 banding 1 itu adalah keadilan sesuai hukum yang berlaku. Namun sebelumnya memberi hibah kepada anak wanita adalah bentuk al-qisth, yaitu adil yang memuaskan semua pihak.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Lafazh (لَا إِلَٰهَ) yang berarti ‘tidak ada tuhan’ menjadi mubtada’. Namun yang menjadi khabarnya justu tidak tertulis alias mahdzuf dengan taqdir : (مَعْبُود) yang disembah atau (مَوْجُود) yang wujud. Sedangkan lafazh (إِلَّا هُوَ) menjadi badal dari la ilaha.
Makna kata ilah (إلَه) sering diartikan dengan tuhan, sebagaimana juga kata rabb (رَبّ) juga sering diartikan tuhan. Namun tentunya tidak sama pengertian atau sudut pandangnya. Terjemah Al-Quran versi Kementerian Agama RI menuliskan perbedaan itu ketika menerjemahkan surat An-Nas :
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. (QS. An-Nas : 1-3)
Rabb adalah tuhan yang memelihara dan menguasai, sedangkan ilah adalah sembahan manusia. Ibnu Taimiyah berpendapat adanya pembedaan antara konsep ilah dan rab meski tetap saling berhubungan. Ilah adalah sesembahan, sedangkan rabb adalah pengatur dan pemelihara.
Ilah adalah sesuatu yang disembah dan dipuja oleh seseorang. Seseorang bisa menjadikan apa saja sebagai ilah, baik itu benda, makhluk, atau bahkan dirinya sendiri. Namun, hanya Allah yang berhak menjadi ilah yang sebenarnya.
Rabb artinya yang mengatur dan memelihara. Allah adalah rabb bagi seluruh alam semesta. Dialah yang menciptakan, mengatur, dan memelihara seluruh makhluk di alam semesta."[1]
Dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azim, Ibnu Taimiyah juga menuliskan bahwa rab adalah Tuhan yang mengatur dan memelihara. Allah adalah rabb bagi seluruh alam semesta. Dialah yang menciptakan, mengatur, dan memelihara seluruh makhluk di alam semesta.[2]
Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa merujuk pada sifat Zat-Nya, yaitu uluhiyah atau ketuhanan. Sifat ini menunjukkan esensi dari keberadaan Allah sebagai Tuhan yang disembah dan tidak ada hubungannya dengan interaksi-Nya dengan makhluk-Nya. Sifat ketuhanan Allah adalah mutlak dan tidak dapat menyentuh atau berdampak kepada makhluk-Nya.
Sedangkan makna kata rabb mengandung makna kepemeliharaan dan kependidikan, yang mencakup segala bentuk interaksi Allah dengan makhluk-Nya, seperti pemberian rezeki, pengampunan, kasih sayang, amarah, ancaman, dan siksaan. Konsep Rabb menekankan pada peran Allah sebagai pemelihara dan pendidik yang mengarahkan makhluk-Nya tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya.[3]
Pembagian tauhid menjadi rububiyah dan uluhiyah merupakan ijtihad yang dilakukan oleh ulama seperti Ath-Thahawi, Ibnu Taimiyah, dan diikuti oleh murid-muridnya hingga Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dan para ulama di Saudi Arabia. Pembagian ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.[4]
Lafazh al-‘aziz (الْعَزِيزُ) oleh Ath-Thabari di dalam tafsirnya dijelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya Engkau wahai Tuhan, Engkaul adalah Tuhan Al-Aziz yang teramat kuat dan tidak bisa dilemahkan oleh apapun. Lakukanlah kepada kami dan kepada keturunan kami apa-apa yang kali mintakan dan kami mohonkan kepada-Mu.
Dengan menyebut betapa Allah SWT itu dengan segala ke-aziz-annya, maka mohon laksanakan apa-apa yang kami mintakan dan kami permohonkan.
Di dalam versi terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, al-aziz ini diterjemahkan oleh Kemenag RI dan Quraish Shihab menjadi : “Maha Perkasa”. Sedangkan Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : ‘Mahagagah”.
Lafazh al-hakim (الْحَكِيمُ) dalam terjemahan sering dimaknai dengan : Maha Bijaksana. Sementara Ath-Thabari dalam tafsirnya menuliskan sebagai berikut :
Al-Hakim adalah yang perencanaannya tidak mengandung cacat atau kesalahan.
Perpaduan antara sifat Maha Perkasa dan Maha Bijaksana inilah yang menjadikan Allah SWT itu Maha Sempurna. Sifat Maha Perkasanya bukan sekedar perkasa dalam arti sewenang-wenang. Dan sebaliknya, Maha Bijaksananya tidak lantas membuatnya jadi tidak tegas. Perpaduan antara kedua sifat yang sekilas saling bertentangan itu menjadikannya sempurna.