Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11)
Di sisi lain, Allah juga menegaskan bahwa yang namanya ulama itu bukan orang sembarangan. Tegas sekali Allah membedakan antara ulama dan bukan ulama di dalam ayat berikut :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?". (QS. Az-Zumar : 9)
إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Kenapa Kedudukan Ulama Sedemikian Penting?
Ada beberapa alasan kenapa kedudukan ulama itu menjadi begitu tinggi dan penting. Jawaban yang paling utama adalah sabda Rasulullah SAW sendiri terkait dengan sosok para ulama. Beliau menegaskan bahwa ulama itu merupakan ahli waris para nabi.
وإِنّ العُلماء ورثةُ الأنْبِياءِ وإِنّ الأنْبِياء لمْ يُورِّثُوا دِيْناراً ولا دِرْهماً إِنّما ورّثُوا العِلْم فمنْ أخذ بِهِ أخذ بِحظٍّ واِفرٍ
Dan sesungguhnya para ulama adalah para ahli waris dari para nabi, dimana para Nabi memang tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Siapa yang menuntut ilmu maka dia telah mendapat warisan yang sangat besar nilainya. (HR. Muslim)
Ya, para ulama adalah ahli waris para nabi, khususnya dalam hal menyampaikan konten segala perintah dan larangan dari Allah SWT.
Bedanya, para nabi langsung meneriwa wahyu dari Allah secara instan, sedangkan para ulama itu tidak menerima wahyu langsung dari Allah SWT. Oleh karena itu untuk menjadi ulama ada proses panjang, dengan jalan menjadi para shahabat nabi dan juga orang-orang yang mengikuti semua yang telah diwariskan oleh nabi.
Maka tidak ada orang yang ketika lahir tiba-tiba jadi ulama. Semua ulama di dunia ini, termasuk para shahabat ridhwanullahi 'alaihim harus melewati proses pembelajaran yang teramat panjang.
Bahkan Ibnul Qayyim dengan tegas menyebutkan bahwa tidak semua shahabat nabi itu berstatus ulama. Hanya sebagian kecil saja, yaitu kurang lebih 130-an orang yang berkapasitas ulama.
Semua ilmu yang mereka warisi dari para nabi itu tidak datang lewat wahyu, melainkan lewat proses mulazamah dengan Rasulullah SAW. Lalu para shahabat yang ulama itu mewariskan ilmu-ilmu yang telah mereka dapat itu kepada generasi berikutnya dan berikutnya. Tetapi semua lewat proses belajar yang panjang.
Tanpa proses belajar lewat sanad dari para nabi, tentu tidak akan menghasilkan ulama ahli waris nabi. Kalau pun mengaku sebagai ahli waris, tentu sekedar menjadi ahli waris KW 5 alias ulama 'gadungan'.
Wakil Tuhan di Muka Bumi
Sepeninggal para nabi, maka para ulama menjadi semacam 'wakil tuhan' di muka bumi. Tentu sebutan 'wakil tuhan' cuma sekedar istilah saja. Sebutan seperti itu belum tentu 100% benar, tetapi kurang lebih seperti itu.
Dan sebagai 'wakil tuhan' di muka bumi, para ulama memang satu-satunya pihak yang dianggap paling tahu dan paling mengerti apa maunya tuhan terhadap hamba-hamba-Nya. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya tuhan halalkan dan apa yang tuhan haramkan, kecuali hanya para ulama saja.
Dalam bahasa yang lebih vulgar, ulama itu tidak lain adalah representasi dari kehendak tuhan. Dan konsekuensinya, apa pun yang dikatakan ulama, maka itulah perkataan tuhan. Setidaknya seperti itulah orang-orang awam akan memahaminya. Apa yang diperintah para ulama, itulah perintah tuhan. Dan apa yang dilarang oleh para ulama, itulah larangan tuhan.
Oleh karena itu kedudukan ulama tidak boleh dijabat oleh orang sembarangan, apalagi oleh mereka yang bodoh, awam, buta dan tidak belajar ilmu syariah.
Jelas merupakan kesalahan teramat fatal kalau jabatan ulama diduduki oleh mereka yang tidak pernah melewati proses untuk menjadi ulama sebagaimana seharusnya. Yang memilih tidak bijak dan yang dipilih tidak tahu diri.
Bukan Wakil Tuhan Tetapi Malah Jadi 'Pembajak' Tuhan
Sayangnya hari ini memang banyak sekali kita saksikan mereka yang mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah ulama. Bahkan merasa bangga dengan gelar itu. Sayang sekali memang.
Padahal seharusnya mereka harus tahu diri bahwa dengan mengaku sebagai ulama, sama saja mereka mengaku sebagai orang yang paling tahu tentang semua perintah dan larangan tuhan.
Seharusnya sebelum mengaku sebagai ulama, jangan lupa untuk berdiri di depan cermin yang agak lama, sambil memperhatikan diri mereka sendiri. Lalu tanyakan kepada diri sendiri, apa benar diri mereka sudah pantas menjadi orang yang paling tahu dan paling mengerti kehendak tuhan?
Atau jangan-jangan diri mereka tidak lebih hanya sekedar makhluk sombong dan pongah yang tidak tahu diri dan berlagak menjadi wakil tuhan?
Sikap mengaku-ngaku sebagai ulama alias wakil tuhan ini sangat gawat dan besar sekali resikonya. Apalagi bila orang-orang yang awam tertipu dan menganggapnya benar-benar ulama. Tentu berbahaya sekali.
Sejak dahulu sampai hari ini bangsa Eropa masih membenci agama dan para tokohnya. Semua itu terjadi karena munculnya para raja lalim dan bertindak sewenang-wenang, tapi mengaku-ngaku sebagai 'ulama' wakil tuhan di muka bumi.
Saking parahnya kelakukan para 'pembajak' tuhan itu, sampai-sampai mereka tega menjual surat pengesahan halal haram seenak selera mereka sendiri, bahkan memperjual-belikan surat (sertifikat) penebusan dosa.
Dan semua yang mereka kerjakan, kezaliman demi kezaliman itu selalu diatas-namakan tuhan.
Inna llillahi wa inna ilaihi rajiun.
Ganti Mazhab
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Wed 30 October 2024 |
Masjid : Antara Kampus dan Kantin
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Tue 29 October 2024 |
Fiqih Negara : Kedudukan Negara Dalam Hukum Syariah
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Fri 25 October 2024 |
Ibnu Taimiyyah Memotong Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tentang Makna Istiwa, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 November 2021 |
Al-Quran dan Kitab-Kitab Suci Samawi Lain Dalam Ajaran Islam
Muhammad Alfatih, Lc | Mon 4 October 2021 |
Antara Albani dan Ibnu Qayyim Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 1 October 2021 |
Membaca Biaografi Ulama Menurunkan Rahmat, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 1 September 2021 |
Bahaya Takhbib
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 September 2020 |
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 9 August 2020 |
Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 2 August 2020 |