.::FIKRAH

Sedekah Dengan Harga Perak Dari Timbangan Rambut Bayi

Sedekah Dengan Harga Perak Dari Timbangan Rambut Bayi

by. Siti Chozanah, Lc
Dalam sejumlah adat masyarakat di tanah air, banyak kita temukan ritual yang dianggap tidak memiliki latar belakang yang didukung oleh syariat. Hal ini kemudian menjadikan sebagian yang lain meninggalkan ritual tersebut dengan dalih tidak ada dalam agama, seperti sedekah dengan harga timbangan perak dari rambut bayi.

Dalam sejumlah adat masyarakat di tanah air, banyak kita temukan ritual yang dianggap tidak memiliki latar belakang yang didukung oleh syariat. Hal ini kemudian menjadikan sebagian yang lain meninggalkan ritual tersebut tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Ada sebuah kebiasaan yang perlahan mulai pudar karena dianggap tidak ada dalilnya, yaitu tentang bersedekah dengan harga perak dari timbangan rambut bayi setelah aqiqah.

Secara garis besar, sebenarnya para ulama telah sepakat akan kebolehannya. Setidaknya ada redaksi hadist yang bisa jadi acuan kebolehannya dengan status shahih atau hasan dari sekian banyak hadist yang diperselisihkan, yakni tatkala fatimah R.A melahirkan Hasan R.A:

عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: لَمَّا وَلَدَتْ فَاطِمَةُ حَسَنًا قَالَتْ: أَلَا أَعُقُّ عَنْ ابْنِي بِدَمٍ؟ قَالَ: «لَا، وَلَكِنْ احْلِقِي رَأْسَهُ ثُمَّ تَصَدَّقِي بِوَزْنِ شَعْرِهِ مِنْ فِضَّةٍ عَلَى الْمَسَاكِينِ أَوِ الْأَوْفَاضِ» ، وَكَانَ الْأَوْفَاضُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجِينَ فِي الْمَسْجِدِ، أَوْ فِي الصُّفَّةِ، وَقَالَ أَبُو النَّضْرِ: «مِنَ الْوَرِقِ عَلَى الْأَوْفَاضِ ـ يَعْنِي أَهْلَ الصُّفَّةِ ـ أَوْ عَلَى الْمَسَاكِينِ» فَفَعَلْتُ ذَلِكَ، قَالَتْ: فَلَمَّا وَلَدْتُ حُسَيْنًا فَعَلْتُ مِثْلَ ذَلِكَ

Abu Rafi’  berkata, “Ketika Fatimah melahirkan Hasan, Fatimah berkata, “Tidakkah aku mengakikahi anakku dengan menyembelih seekor hewan?” belaiu menjawab: “Jangan, namun cukurlah rambutnya dan bersedekahlah sebesar timbangan rambutnya dengan perak kepada orang-orang miskin dan aufadl, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang sedang membutuhkan di dalam masjid, atau di pelataran masjid.” Abu Nadlr menyebutkan, “Dari perak kepada aufadl, yaitu ahli shuffah, atau kepada orang-orang miskin.” Fatimah berkata, “Ketika aku melahirkan Husain aku melakukan hal yang sama.” ( HR. Ahmad, Baihaqi dan Thabrani)

Kemudian hadist lain dari yang disahihkan oleh al Hakim dalam mustadraknya:

قَالَ صلى الله عليه وسلم: يَا فَاطِمَةُ احْلِقِي رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِي بِزِنَةِ شَعْرِهِ

Rasulullah bersabda: wahai Fatimah, cukurlah kepalanya dan bersedakahlah dengan timbangan rambutnya (HR.Tirmidzi, dan Ibnu Abi Syaibah)

 

Pendapat Para ulama madzhab

Terkait hal ini, jumhur ulama telah sepakat tentang kesunahan bersedekah dengan timbangan rambut bayi dengan harga perak:

ذَهَبَ الْجُمْهُورُ (الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ) إِلَى اسْتِحْبَابِ حَلْقِ شَعْرِ رَأْسِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ السَّابِعِ، وَالتَّصَدُّقِ بِزِنَةِ شَعْرِهِ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَفِضَّةً عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ. وَإِنْ لَمْ يَحْلِقْ تَحَرَّى وَتَصَدَّقَ بِهِ.

Mayoritas Ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) menilai kesunahan mencukur rambut bayi dihari ketujuh masa kelahirannya serta bersedekah seberat timbangan rambutnya dalam bentuk emas atau perak menurut kalangan Malikiyyah dan Syafi’iyyah dan dalam bentuk perak menurut kalangan Hanabilah, dan meskipun si anak tidak dicukur hendaknya tetap disedekahkan.

 

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ حَلْقَ شَعْرِ الْمَوْلُودِ مُبَاحٌ، لَيْسَ بِسُنَّةٍ وَلاَ وَاجِبٍ، وَذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِمْ فِي أَنَّ الْعَقِيقَةَ مُبَاحَةٌ، لأِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِل عَنِ الْعَقِيقَةِ فَقَال: لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْعُقُوقَ. مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسُكْ عَنْهُ.

وَهَذَا يَنْفِي كَوْنَ الْعَقِيقَةِ سُنَّةً لأَِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّقَ الْعَقَّ بِالْمَشِيئَةِ وَهَذَا أَمَارَةُ الإْبَاحَةِ.

Sedang kalangan Hanfiyyah menilai bahwa mencukur rambut bayi hukumnya mubah tidak sunah atau bahkan wajib, yang demikian karena menurut kalangan ini berdasarkan keberadaan hukum aqiqah itu sendiri yang menurut mereka adalah mubah sebab Rasulullah SAW saat ditanya tentang aqiqah beliau menjawab :

“Allah tidak menyukai kedurhakaan, barangsiapa ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR. An Nasai dan al-Hakim).

Perkataan beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam, “ingin menyembelihkan” merupakan indikasi yang menunjukkan kemubahanya [1]

Lebih rincinya, berikut pernyataan para ulama dalam kitab fikih masing-masing:

Dalam kitab I’anatu thalibin (syafi’iyah) disebutkan:

وسن أن يحلق رأسه ولو أنثى في السابع ويتصدق بزنته ذهبا أو فضة

Dan disunnahkan mencukur botak rambutnya meskipun bayinya wanita di hari ke tujuh dan bersedekah dari timbangannya dengan emas atau perak[2].

Kemudian dalam syarah mukhtashar khalil (Malikiyah) juga disebutkan:

وَالتَّصَدُّقُ بِزِنَةِ شَعْرِهِ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِوَزْنِ شَعْرِ الْمَوْلُودِ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً

Dan bersedekah dengan timbangan rambut bayi, yang masyhur adalah mustahab bersedekah dengannya baik dengan harga emas ataupun perak[3].

Tidak Sampai Kepada Wajib

            Dalam pemaparan di atas, semua ulama sepakat tentang hukum kebolehannya, dimana madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menghukuminya kepada sunnah. Dan Hanafiah hanya sebatas menghukuminya kepada boleh dan bukan termasuk disunnahkan.

            Dengan kata lain, perkara sedekah dengan menimbangnya kepada harga emas atau perak ini tidak sampai kepada kategori wajib untuk dilakukan. Dengan kembali kepada prinsip bahwa sebenarnya syariat ada untuk memudahkan setiap hambaNya. Maka yang tidak mampu dan tidak berkenan untuk melakukan hal tersebut tidak mendapatkan beban untuk mengqadha’ atau menggantinya dengan kaffarah.

            Adapun adat masyarakat yang kemudian menjadikan ritual ini sebagai suatu yang biasa dijalankan, maka sah saja untuk tetap dijaga dan diikuti tanpa harus menganggap mereka yang tidak melakukannya sebagai sebuah tabu atau aib.

Wallahu a’lam bisshowab

 

 

 

 


[1] Al Mausuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. 26/107

[2] I’anatu thalibin. 2/384

[3] Syarah mukhtashar khalil. 3/48

Ganti Mazhab
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Wed 30 October 2024
Masjid : Antara Kampus dan Kantin
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Tue 29 October 2024
Fiqih Negara : Kedudukan Negara Dalam Hukum Syariah
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Fri 25 October 2024
Ibnu Taimiyyah Memotong Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tentang Makna Istiwa, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 November 2021
Al-Quran dan Kitab-Kitab Suci Samawi Lain Dalam Ajaran Islam
Muhammad Alfatih, Lc | Mon 4 October 2021
Antara Albani dan Ibnu Qayyim Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 1 October 2021
Membaca Biaografi Ulama Menurunkan Rahmat, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 1 September 2021
Bahaya Takhbib
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 September 2020
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 9 August 2020
Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 2 August 2020
more ...
Jadwal Shalat DKI Jakarta 7-10-2025
Subuh 04:19 | Zhuhur 11:42 | Ashar 14:45 | Maghrib 17:50 | Isya 18:57 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia