.::FIKRAH

Serba Serbi Qadha Puasa

Serba Serbi Qadha Puasa

by. Siti Chozanah, Lc
Pasca Ramadhan masih saja ada pertanyaan seputar puasa yang tersisa yang biasanya seputar Qadha puasa dimana kerap menimbulkan dilema tersendiri, apakah boleh puasa syawwal dulu sebelum qadha puasa ditunaikan? atau bolehkah menggabungkan keduanya dalam satu waktu? bahkan apakah qadha berlaku bagi ahli waris?dll

Definisi Qadha’

Dalam Bahasa Arab kata Qadha’ bisa bermakna hukum dan penunaian.

Sementara secara istilah, para ulama mendefinisikan qadha’ sebagai:

فِعْل الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ

Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya

Siapa Saja yang Diwajibkan Mengqadha’ puasanya?

  1. Orang Sakit

أَيَّامًا مَعْدُودَات فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ  وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah 184.)

عنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِيِّ رِضَى اَللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى اَلصِّيَامِ فِي اَلسَّفَرِ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اَللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ

Dari Hamzah bin Amru Al-Aslami radhiyallahuanhu, dia bertanya, ”Ya Rasulallah, Saya mampu dan kuat berpuasa dalam perjalanan, apakah saya berdosa?”. Beliau menjawab, ”Itu adalah keringanan dari Allah. Siapa yang mengambilnya, maka hal itu baik. Namun siapa yang ingin untuk terus berpuasa, tidak ada salah atasnya.” (HR. Muslim)

Ulama sepakat bahwa jenis safar yang membolehkan seorang muslim untuk tidak puasa ialah perjalanan yang membolehkan untuk meng-qashar sholat, yang mana dalam pendapat madzhab Syafi’i adalah perjalanan yang menempuh jarak 84 km (16 farsakh) , sementara menurut Hanafiah adalah perjalanan yang ditepuh selama 3 hari, dan menurut Jumhur ulama (mayoritas ulama) adalah perjalanan yang menempuh waktu seharian penuh.

Selebihnya, ulama juga menambahkan satu syarat untuk perjalanan yang membolehkan seorang muslim tidak berpuasa, yaitu ia melakukan perjalanan sejak sebelum fajar. Maka Sebagai gantinya, ia diwajibkan berpuasa dibulan lain selain Ramadhan selama hari yang ia tinggalkan karena perjalanan tersebut. meski demikian, bagi yang melakukan perjalanan dimulai dari siang hari tetap boleh membatalkan puasanya.

  1. Wanita Haid dan Nifas

Dalam sebuah riwayat, muadzah pernah bertanya kepada sayyidah aisyah tentang puasa wanita haid, maka aisyah berkata:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”(HR. Muslim)

Keadaan ini membolehkan orang yang berpuasa membatalkan puasanya dan mewajibkan mereka mengqadha’ puasanya di hari yang lain. contoh: di siang hari ketika ramadhan, seorang ibu harus meminum obat untuk bayinya yang disusui.

  1. Batal Puasa

Orang-orang yang batal puasanya baik disengaja ataupun tidak disengaja wajib mengqadha’ puasanya di hari lain di luar Ramadhan.

Kapan Waktu Mengqadha’ Puasa?

            Para ulama sepakat secara Ijma’ bahwa orang yang diwajibkan mengqadha’ puasanya harus melakukannya setelah bulan Ramadhan hingga sebelum menjelang ramadhan selanjutnya. Serta diharamkan melakukan qadha puasa di hari-hari yang diharamkan.

Bagaimana Jika Bertemu Ramadhan Selanjutnya Belum Mengqadha’ Puasanya?

Jumhur ulama sepakat bahwa bila tertundanya karena udzur syar'i seperti nifas, menyusui, hamil, sakit parah yang berkelanjutan, maka boleh dan tidak ada pembebanan lain selain membayar qadha'nya.

namun bila tanpa udzur syar'i, para ulama berbeda pendapat:

1. Ibnu Qudamah (Hanabilah), Ibnu Hajar Al Haitami (Syafi'iyah) berpendapat wajib mengqodho' sejumlah hari yang ditinggalkan dan membayar fidyah (memberi makan satu orang sebanyak satu mud) sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. jadi jika meninggalkan puasa 4 hari dan belum mengqadha sampai Ramadhan selanjutnya, menurut madzhab ini wajib bayar qadha' 4 hari dan fidyah 4 hari. (lihat : kitab al mughni li ibni Qudamah 3/154 & tuhfatul muhtaj li ibni hajar al haitami 3/445)

Sementara beberapa golongan Syafiiyah yang lain berpendapat bahwa selain membayar qadha'  jumlah fidyahnya dihitung sesuai periode tahun yang ditinggalkan. misalkan meninggalkan puasa 4 hari dan belum qadha hingga bertemu Ramadhan selanjutnya,

maka, qadha' 4 hari + fidyah 4 x 2 periode ramadhan = 8 hari bayar fidyah

total : 4 qadha + 8 fidyah

(lihat : al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

2. Ibnu Hummam (Hanafiyah) + Al Muzani (Syafiiyah) : cukup bayar Qadha di luar ramadhan dan tidak perlu bayar fidyah. (lihat : bidayatul mujtahid 1/240, al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

Puasa Sunnah Dulu Atau Qadha dulu?

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh puasa sunnah syawwal dulu tanpa qadha?

Para ulama Hanafiah mengatakan boleh, Dasar landasan pendapat ini bahwa kewajiban puasa qadha' bersifat tarakhi (تراخي). Maksudnya boleh ditunda atau diakhirkan, hingga sampai menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun berikutnya.

Malikiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan boleh namun dengan dihukumi makruh, karena yang harus diutamakan adalah puasa yang sifatnya wajib.

Hanabilah berpendapat dilarang, mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi berikut ini :

مَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُتَقَبَّل مِنْهُ حَتَّى يَصُومَهُ

Siapa yang berpuasa sunnah padahal dia punya hutang qadha' puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, maka puasa sunnahnya itu tidak sah sampai dia bayarkan dulu puasa qadha'nya. (HR. Ahmad)

Orang yang Meninggal Sebelum Sempat Bayar Qadha’ Puasanya, Apakah dibayarkan oleh Keluarganya?

    Sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyah, Abu Tsaur, Al-Auza’i, serta madzhab Adz-Dzahiriyah berpendapat bahwa keluarga mayyit wajib membayarkan qadha’ puasanya, dengan berlandaskan kepada hadist:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

            Akan tetapi, ulama-ulama Fiqih dari madzhab Asy-Syafi’iyah dalam qaul jadid serta madzhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa cukup bagi keluarganya membayarkan fidyahnya saja. Pendapat serupa juga dikatakan oleh ulama madzhab Al Hanafiah dan Al malikiyah namun mereka menekankan harus ada wasiat sebelumnya tentang perihal qadha’ puasa. Dalil yang melatarbelakangi pendapat jumhur ulama ini adalah hadist berikut:

لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ

“Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan.” (HR. An-Nasa’i)

Ibu Hamil dan Menyusui yang Meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?

Para ulama fiqih semuanya sepakat bagi wanita hamil ataupun menyusui yang kesulitan atau berat untuk berpuasa, boleh berbuka atau tidak puasa Ramadhan dengan berlandaskan kepada dalil berikut:

إن الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم

Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad)

Tapi mereka berbeda pendapat tentang konsekuensi yang harus dibayar setelah mereka meninggalkan puasanya, apakah harus qadha’ puasa mereka atau membayar fidyah, ataukah keduanya?

Dalam madzhab Hanafi Ibu Hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan salah satunya (janin atau ibunya), maka boleh tidak puasa dan hanya membayar qadha’ saja tanpa fidyah.

Dalam Madzhab Maliki dibedakan antara wanita hamil dan menyusui dengan perincian sebagai berikut:

  1. Wanita hamil yang dikhawatirkan lemah salah satunya (janin atau ibunya) maka wajib membatalkan puasa dengan konsekuensi membayar qadha’
  2. Wanita menyusui yang dikhawatirkan lemah keduanya bila ibu berpuasa maka wajib membatalkan puasa dengan konsekuensi bayar qadha’
  3. Wanita menyusui yang bayinya terindikasi lemah tapi sang ibu masih bisa berpuasa dan memproduksi asi, maka sang ibu boleh tidak berpuasa dengan konsekuensi bayar qadha’ dan fidyah.

Sementara dalam Madzhab Syafi’i dan Hambali, sedikit memiliki kemiripan dengan Malikiyah, hanya saja ulama dalam madzhab ini berpendapat bahwa jika ibu yang hamil kuat berpuasa meski kondisi janinnya dikhawatirkan lemah tetap boleh tidak puasa namun konsekuensinya adalah qadha’ dan fidyah.

Bentuk Fidyah Seperti Apa?

Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka bentuk fidyah itu pada

dasarnya adalah makanan, yang dalam hal ini menurut para ulama adalah makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari suatu masyarakat.

Ukuran Timbangan Fidyah

Para ulama madzhab berbeda-beda dalam hal ini, Madzhab Al-Malikiyah dan As-Syafi‘iyah menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW atau setara ¼  sha’. Bila dikonversi kepada ukuran gandum atau beras maka setara dengan kedua telapak tangan yang disatukan, seperti ketika orang sedang berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya. Bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0.6 kg beras yang setara dengan ¾ liter beras.

Sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa fidyah ukurannya adalah 1 sha’ atau sama dengan 4 mud, bila dikonversi kepada timbangan sekarang adalah 2.176 gram atau 2,75 liter. Mirip seperti ukuran beras zakat fitr.

Wallahu a'lam bisshowab

Ganti Mazhab
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Wed 30 October 2024
Masjid : Antara Kampus dan Kantin
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Tue 29 October 2024
Fiqih Negara : Kedudukan Negara Dalam Hukum Syariah
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA | Fri 25 October 2024
Ibnu Taimiyyah Memotong Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tentang Makna Istiwa, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 November 2021
Al-Quran dan Kitab-Kitab Suci Samawi Lain Dalam Ajaran Islam
Muhammad Alfatih, Lc | Mon 4 October 2021
Antara Albani dan Ibnu Qayyim Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 1 October 2021
Membaca Biaografi Ulama Menurunkan Rahmat, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 1 September 2021
Bahaya Takhbib
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 September 2020
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 9 August 2020
Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 2 August 2020
more ...
Jadwal Shalat DKI Jakarta 7-10-2025
Subuh 04:19 | Zhuhur 11:42 | Ashar 14:45 | Maghrib 17:50 | Isya 18:57 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia