Kata ash-Shamad (الصمد) terambil dari akar kata shamada (صمد) yang berarti "tertuju" atau "tumpuan." Dalam bahasa, kata ini digunakan dalam berbagai arti, namun ada beberapa makna yang sangat populer.
Pada Surah Al-Ikhlas (112) ayat 2, terdapat beberapa tafsiran terkait kata ash-Shamad:
a. Sesuatu yang tidak memiliki rongga.
b. Sesuatu (tokoh terpuncak) yang menjadi tumpuan harapan.
Satu riwayat yang disandarkan kepada Ibn 'Abbas ra. menyatakan bahwa ash-Shamad berarti "tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan tiada melebihi santunannya, yang mengetahui dan sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya."
Ulama-ulama yang memahami kata ash-Shamad dalam pengertian "tidak memiliki rongga" mengembangkan arti tersebut agar sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah. Mereka berkata: "Sesuatu yang tidak memiliki rongga mengandung arti bahwa ia sedemikian padat atau bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman." Allah tidak membutuhkan makanan, tidak ada sesuatu yang keluar dari-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, sebagaimana ditegaskan oleh ayat berikut.
Ada juga yang mengartikan kata tersebut sebagai menunjuk kepada Allah, yang zat-Nya tidak dapat terbagi. Menurut mereka, jika kata ab_ad menunjuk kepada zat Allah yang tidak tersusun oleh bagian atau unsur apa pun, maka kata ash-Shamad mengandung arti bahwa dalam keesaan-Nya, zat tersebut tidak dapat dibagi-bagi.
Mayoritas pakar bahasa dan tafsir memahami ash-Shamad dalam pengertian kedua yang disebut di atas, yakni bahwa Allah adalah zat yang kepada-Nya mengarah semua harapan makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan makhluk serta penanggulangan kesulitan mereka.
Kata ash-Shamad berbentuk ma'rifah (definitif), yakni dihiasi oleh alif dan lam, berbeda dengan ab_ad yang berbentuk nakirah (indefinitif). Ini menurut Ibn Taimiyah, karena kata ab_ad tidak digunakan dalam kedudukannya sebagai sifat (adjektif) kecuali terhadap sesuatu yang bersifat spesifik, sehingga di sini tidak perlu dihiasi dengan alif dan lam, berbeda dengan kata ash-Shamad yang digunakan untuk Allah, manusia, atau apa pun.